|
MAKALAH PEMERATAAN PENDIDIKAN DI MASYARAKAT TERPENCIL | 5:42:00 PM |
Filed under:
|
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Pemerataan Pendidikan
Masyarakat Miskin dan Terpencil di Indonesia
Era global ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi dalam semua aspek kehidupan ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan SDM yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan hingga ke pelosok negeri dan bagi masyarakat menengah ke bawah. Mereka yang paling memerlukan layanan pendidikan dalam mengantisipasi persaingan global di samping penyandang buta huruf adalah masyarakat miskin di tempat-tempat yang jauh dan tersebar.
Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk Indonesia (berdasarkan data Badan Pusat Statistik : 2007). Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan.
Era global ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi dalam semua aspek kehidupan ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan SDM yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan hingga ke pelosok negeri dan bagi masyarakat menengah ke bawah. Mereka yang paling memerlukan layanan pendidikan dalam mengantisipasi persaingan global di samping penyandang buta huruf adalah masyarakat miskin di tempat-tempat yang jauh dan tersebar.
Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk Indonesia (berdasarkan data Badan Pusat Statistik : 2007). Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan.
Di Indonesia,
yang paling memerlukan pendidikan adalah mereka yang berada di daerah miskin
dan terpencil. Mayoritas kaum miskin di Indonesia tinggal di tempat-tempat jauh
yang terpencil. Mereka praktis kekurangan segalanya: fasilitas, alat-alat
transportasi dan komunikasi di samping rendahnya pengetahuan mereka terhadap
teknologi.
Bila pendidikan ingin menjangkau mereka yang kurang beruntung ini – bila perbaikan hidup masyarakat yang lebih banyak ini yang menjadi sasaran kita dengan menyediakan pendidikan yang lebih berkualitas. Pemerataan pendidikan masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia, dapat dibagi menjadi pemerataan pendidikan formal dan pemerataan pendidikan non formal.
Bila pendidikan ingin menjangkau mereka yang kurang beruntung ini – bila perbaikan hidup masyarakat yang lebih banyak ini yang menjadi sasaran kita dengan menyediakan pendidikan yang lebih berkualitas. Pemerataan pendidikan masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia, dapat dibagi menjadi pemerataan pendidikan formal dan pemerataan pendidikan non formal.
2.1.1 Pemerataan Pendidikan Formal
Pada jenjang pendidikan formal, secara umum perluasan akses dan
peningkatan. Pemerataan pendidikan masih menjadi masalah utama, terutama bagi
masyarakat miskin maupun masyarakat di daerah terpencil. Pemerataan pendidikan
formal terdiri dari pemertaaan pendidikan di tingkat prasekolah, sekolah dasar,
menengah, perguruan tinggi. Pendidikan prasekolah merupakan pendidikan pada
anak usia dini, misal : playgroup dan taman kanak-kanak. Pada daerah perkotaan
pendidikan prasekolah secara formal sudah sering ditemukan, tetapi untuk daerah
terpencil seperti di pedesaan, masih sangat jarang. Pendidikan sekolah dasar
memang sudah cukup dirasakan pemerataannya di berbagai daerah, hal ini sejalan
dengan program wajib belajar 9 tahun, tetapi mutu dari pendidikan tersebut masih
sangat berbeda antara daerah perkotaan dengan pedesaan. Pada pendidikan
menengah, saat ini banyak bermunculan sekolah-sekolah unggul. Dalam
pelaksanaannya model sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kalangan borjuis,
elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai kalangan
atas. Kalaupun ada peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem subsidi
silang itu hanya akal-akalan saja dari pihak sekolah untuk menghindari “image”
di masyarakat sebagai sekolah mahal dan berkualitas, sekolah plus,
sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen
(laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melekat pada
sekolah yang diasumsikan dengan “unggul”. Untuk pendidikan tinggi persoalannya
menyangkut pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan tinggi bagi warga
negara dalam kelompok usia 19-24 tahun. Biaya yang diperlukan untuk menempuh
pendidikan di perguruan tinggi memang sangat besar, sehingga hanya anak-anak
yang berasal dari keluarga mampu saja yang memperoleh kesempatan mengenyam
pendidikan tinggi. Kebutuhan biaya baik langsung maupun tak langsung yang cukup
besar inilah yang menyebabkan rendahnya partisipasi pendidikan pada jenjang
perguruan tinggi.
Selain itu, penyebaran geografis lembaga pendidikan tinggi unggulan di Indonesia juga tidak merata. Berbagai universitas terkemuka dipusatkan berada di pulau Jawa, sehingga masyarakat yang berada di pulau lain harus meninggalkan kampung halamannya demi melanjutkan pendidikan tinggi. Kritik kini mulai bermunculan atas pelaksanaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bagi beberapa universitas dan institut, seperti: UI, UGM, USU, UPI, ITB, dan IPB. BHMN dinilai telah mengarah ke komersialisasi pendidikan, yang bertentangan dengan misi utama sebuah lembaga pendidikan tinggi. Untuk bisa kuliah di universitas dan institut terpandang itu, orangtua mahasiswa harus mengeluarkan uang puluhan juta rupiah. Ada beberapa argument yang menyebabkan muncul gerakan protes atas gejala komersialisasi pendidikan tinggi. Pertama, pendidikan tinggi yang selama ini bersifat elitis akan semakin bertambah elitis. Perguruan tinggi bertarif mahal akan makin mengentalkan watak elitisme dan kian mereduksi jiwa egalitarianisme. Gejala ini jelas bertentangan dengan prinsip pemerataan pendidikan seperti diamanatkan di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Prinsip dasar pemerataan ini sangat penting guna memberikan kesempatan bagi semua golongan masyarakat, untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang baik. Kedua, ada alasan ideologis di balik gerakan protes itu. Selama ini, yang bisa menikmati pendidikan tinggi adalah orang-orang yang berasal dari keluarga kelas menengah. Bagi orang-orang yang berasal dari kelas bawah (keluarga miskin) mengalami kesulitan mendapatkan akses pendidikan tinggi dengan biaya yang mahal itu (Eka, R. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia, (http://edu-articles.com, diakses 9 Maret 2009)).
Selain itu, penyebaran geografis lembaga pendidikan tinggi unggulan di Indonesia juga tidak merata. Berbagai universitas terkemuka dipusatkan berada di pulau Jawa, sehingga masyarakat yang berada di pulau lain harus meninggalkan kampung halamannya demi melanjutkan pendidikan tinggi. Kritik kini mulai bermunculan atas pelaksanaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bagi beberapa universitas dan institut, seperti: UI, UGM, USU, UPI, ITB, dan IPB. BHMN dinilai telah mengarah ke komersialisasi pendidikan, yang bertentangan dengan misi utama sebuah lembaga pendidikan tinggi. Untuk bisa kuliah di universitas dan institut terpandang itu, orangtua mahasiswa harus mengeluarkan uang puluhan juta rupiah. Ada beberapa argument yang menyebabkan muncul gerakan protes atas gejala komersialisasi pendidikan tinggi. Pertama, pendidikan tinggi yang selama ini bersifat elitis akan semakin bertambah elitis. Perguruan tinggi bertarif mahal akan makin mengentalkan watak elitisme dan kian mereduksi jiwa egalitarianisme. Gejala ini jelas bertentangan dengan prinsip pemerataan pendidikan seperti diamanatkan di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Prinsip dasar pemerataan ini sangat penting guna memberikan kesempatan bagi semua golongan masyarakat, untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang baik. Kedua, ada alasan ideologis di balik gerakan protes itu. Selama ini, yang bisa menikmati pendidikan tinggi adalah orang-orang yang berasal dari keluarga kelas menengah. Bagi orang-orang yang berasal dari kelas bawah (keluarga miskin) mengalami kesulitan mendapatkan akses pendidikan tinggi dengan biaya yang mahal itu (Eka, R. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia, (http://edu-articles.com, diakses 9 Maret 2009)).
2.1.2 Pemerataan Pendidikan Nonformal
Di samping menghadapi permasalahan dalam meningkatkan akses dan
pemerataan pendidikan di jalur formal, pembangunan pendidikan juga menghadapi
permasalahan dalam peningkatan akses dan pemerataan pendidikan non formal. Pada
jalur pendidikan non formal juga menghadapi permasalahan dalam hal perluasan
dan pemerataan akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat.
Sampai dengan tahun 2006, pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah. Apalagi pendidikan non formal, pada umumnya membutuhkan biaya yang cukup mahal sehingga tidak dapat terangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.
Sampai dengan tahun 2006, pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah. Apalagi pendidikan non formal, pada umumnya membutuhkan biaya yang cukup mahal sehingga tidak dapat terangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.
2.2 Permasalahan
Pemerataan Pendidikan Masyarakat Miskin dan Terpencil di Indonesia
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah
Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal
Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM)
untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian
APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP
masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa).
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut. Berbagai permasalahan dan tantangan yang masih
dihadapi dalam penyelenggaraan baik pada pendidikan prasekolah dan pendidikian
dasar, secara ringkas diuraikan berikut:
a. Pendidikan
prasekolah
Beberapa
permasalahan yang masih dihadapi terkait dengan pemerataan pendidikan bagi
masyarakat miskin maupun masyarakat di daerah terpencil adalah sebagai berikut
:
1) Sebagian
besar pendirian lembaga-lembaga pendidikan prasekolah yang diprakarsai oleh
masyarakat masih berorientsi di wilayah perkotaan, sedangkan untuk
wilayah-wilayah di pedesaan atau daerah terpencil dirasakan masih sangat
kurang. Hal ini berakibat pada kurang adanya pemerataan kesempatan untuk
pendidikan prasekolah.
2) Kondisi
sosial ekonomi masyarakat di pedesaan dan daerah terpencil yang sebagian besar
miskin telah menyebabkan kualitas gizi anak kurang dapat mendukung aktivitas
anak didik dalam bermain sambil belajar.
b. Pendidikan dasar
Beberapa
permasalahan yang masih dihadapi terkait dengan pemerataan pendidikan bagi
masyarakat miskin maupun masyarakat di daerah terpencil, kaitannya dengan
perluasan dan pemerataan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, wajib
belajar belum memiliki makna “compulsory” karena ketidakmampuan subsidi
pemerintah untuk menjangkau masyarakat marjinal ke bawah yang jumlahnya cukup
besar dan secara ekonomi tidak mampu.
2.3 Perkembangan Pemerataan
Pendidikan di Indonesia
Selama ini, pembangunan pendidikan telah membuahkan hasil yang cukup
baik. Pencapaian pembangunan pendidikan antara lain dapat dilihat pada
peningkatan angka partisipasi kasar (APK) di setiap jenjang pendidikan. Menurut
data Susenas 2004, APK pada jenjang SD/MI dan SMP/MTs masing-masing telah mencapai
107,13 persen dan 82,24 persen, sedangkan APK pada jenjang SMA/SMK/MA telah
mencapai 54,38 persen.
Meskipun demikian, angka partisipasi pendidikan penduduk Indonesia perlu
terus-menerus ditingkatkan, mengingat sampai dengan tahun 2003 jumlah penduduk
usia 15 tahun ke atas yang telah menyelesaikan jenjang sekolah menengah pertama
atau jenjang yang lebih tinggi baru mencapai 45,8 persen.
Sementara itu, pada tahun 2004 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,24 tahun. Meskipun pada tahun 2004 angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7–12 tahun sudah hampir 100 persen, angka partisipasi sekolah penduduk usia 13–15 tahun dan penduduk usia 16–18 tahun masing-masing baru mencapai 83,5 persen dan 53,5 persen (Susenas 2004). Untuk itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh baik oleh pemerintah maupun masyarakat agar dapat meningkatkan angka partisipasi pendidikan penduduk Indonesia. Dalam hal ini, pada tahun 2006, pencapaian APS diperkirakan masih sebesar 83,2 persen pada kelompok usia 13–15 tahun dan 56,0 persen pada kelompok usia 16–18 tahun sesuai sasaran RKP 2006.
Meskipun demikian, pembangunan pendidikan masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan terutama berkaitan dengan perluasan akses dan pemerataan pendidikan pada jalur formal. Menurut data Susenas 2004, dari penduduk usia sekolah 7–24 tahun yang berjumlah 76,0 juta orang, yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41,5 juta orang atau sebesar 55 persen.
Sementara itu, menurut data Balitbang Depdiknas 2004, angka putus sekolah atau drop-out di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak, yang berhasil lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs dan putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang. Masalah putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan pendidikan terutama pada jenjang pendidikan dasar merupakan persoalan serius yang dapat mempengaruhi keberhasilan penuntasan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
Sementara itu, pada tahun 2004 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,24 tahun. Meskipun pada tahun 2004 angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7–12 tahun sudah hampir 100 persen, angka partisipasi sekolah penduduk usia 13–15 tahun dan penduduk usia 16–18 tahun masing-masing baru mencapai 83,5 persen dan 53,5 persen (Susenas 2004). Untuk itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh baik oleh pemerintah maupun masyarakat agar dapat meningkatkan angka partisipasi pendidikan penduduk Indonesia. Dalam hal ini, pada tahun 2006, pencapaian APS diperkirakan masih sebesar 83,2 persen pada kelompok usia 13–15 tahun dan 56,0 persen pada kelompok usia 16–18 tahun sesuai sasaran RKP 2006.
Meskipun demikian, pembangunan pendidikan masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan terutama berkaitan dengan perluasan akses dan pemerataan pendidikan pada jalur formal. Menurut data Susenas 2004, dari penduduk usia sekolah 7–24 tahun yang berjumlah 76,0 juta orang, yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41,5 juta orang atau sebesar 55 persen.
Sementara itu, menurut data Balitbang Depdiknas 2004, angka putus sekolah atau drop-out di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak, yang berhasil lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs dan putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang. Masalah putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan pendidikan terutama pada jenjang pendidikan dasar merupakan persoalan serius yang dapat mempengaruhi keberhasilan penuntasan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
Menurut data Susenas 2003, masih tingginya angka putus sekolah dan tidak
dapat melanjutkan pendidikan itu lebih banyak bersumber pada persoalan ekonomi,
karena banyak di antara anak-anak usia sekolah dasar itu berasal dari keluarga
miskin. Untuk menekan angka putus sekolah, pemerintah menyediakan dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Khusus Sekolah (BKS), dan Bantuan Khusus
Murid (BKM) atau beasiswa.
2.4 Upaya Pemerintah dalam
Pemerataan Pendidikan Masyarakat Miskin dan Terpencil di Indonesia.
Untuk meningkatkan kualitas
dan pemerataan pendidikan berbagai langkah akan diambil seperti peningkatan
jumlah anak yang ikut merasakan pendidikan, akses terhadap pendidikan ini
dihitung berdasarkan angka partisipasi mulai tingkat Sekolah Dasar hingga
Sekolah Menengah Umum. Selain itu pemerintah akan mengurangi tingkat disparitas
atau ketidakmerataan akses baik spasial kota non kota dan yang bersifat genger.
2.4.1
Wajib Belajar
Dalam sektor pendidikan, kewajiban belajar tingkat dasar perlu diperluas
dari 6 ke 9 tahun, yaitu dengan tambahan 3 tahun pendidikan setingkat SLTP
seperti dimandatkan oleh Peraturan Pemerintah 2 Mei 1994. Hal ini segaris
dengan semangat “Pendidikan untuk Semua” yang dideklarasikan di konferensi
Jomtien di Muangthai tahun 1990 dan Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia Sedunia
Artikel 29 yang berbunyi: “Tujuan pendidikan yang benar bukanlah mempertahankan
‘sistem’ tetapi memperkaya kehidupan manusia dengan memberikan pendidikan lebih
berkualitas, lebih efektif, lebih cepat dan dengan dukungan biaya negara yang
menanggungnya”
Berbagai upaya telah dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia termasuk pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2008 yang dapat diukur antara lain dengan peningkatan angka partisipasi kasar jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan yang sederajat menjadi 95 persen. Namun demikian sampai dengan tahun 2006 belum seluruh rakyat dapat menyelesaikan jenjang pendidikan dasar.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia termasuk pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2008 yang dapat diukur antara lain dengan peningkatan angka partisipasi kasar jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan yang sederajat menjadi 95 persen. Namun demikian sampai dengan tahun 2006 belum seluruh rakyat dapat menyelesaikan jenjang pendidikan dasar.
2.4.2 Bidang Teknologi
Kemajuan teknologi menawarakan solusi untuk menyediakan akses pendidikan
dan pemerataan pendidikan kepada masyarakat belajar yang tinggal di daerah terpencil.
Pendidikan harus dapat memenuhi kebutuhan belajar orang-orang yang kurang
beruntung ini secara ekonomi ketimbang menyediakan akses yang tak terjangkau
oleh daya beli mereka. Televisi saat ini digunakan sebagai sarana pemerataan
pendidikan di Indonesia karena fungsinya yang dapat menginformasikan suatu
pesan dari satu daerah ke daerah lain dalam waktu yang bersamaan.
Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya, bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tayangan-tayangan yang disiarkannya. Sebagai media yang memanfaatkan luasnya daerah liputan satelit, televisi menjadi sarana pemersatu wilayah yang efektif bagi pemerintah.
Pemerintah melalui TVRI menyampaikan program-program pembangunan dan kebijaksanaan ke seluruh pelosok tanpa hambatan geografis yang berarti. Saat ini juga telah dirintis Televisi Edukasi (TV-E), media elektronik untuk pendidikan itu dirintis oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (Pustekkom), lembaga yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Ini untuk memberikan layanan siaran pendidikan berkualitas yang dapat menunjang tujuan pendidikan nasional.
Tugasnya mengkaji, merancang, mengembangkan, menyebarluaskan, mengevaluasi, dan membina kegiatan pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan jarak jauh/terbuka. Ini dalam rangka peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan prinsip teknologi pendidikan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional.
Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya, bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tayangan-tayangan yang disiarkannya. Sebagai media yang memanfaatkan luasnya daerah liputan satelit, televisi menjadi sarana pemersatu wilayah yang efektif bagi pemerintah.
Pemerintah melalui TVRI menyampaikan program-program pembangunan dan kebijaksanaan ke seluruh pelosok tanpa hambatan geografis yang berarti. Saat ini juga telah dirintis Televisi Edukasi (TV-E), media elektronik untuk pendidikan itu dirintis oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (Pustekkom), lembaga yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Ini untuk memberikan layanan siaran pendidikan berkualitas yang dapat menunjang tujuan pendidikan nasional.
Tugasnya mengkaji, merancang, mengembangkan, menyebarluaskan, mengevaluasi, dan membina kegiatan pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan jarak jauh/terbuka. Ini dalam rangka peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan prinsip teknologi pendidikan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional.
Siaran Radio Pendidikan untuk Murid Sekolah Dasar (SRPM-SD) adalah suatu
sistem atau model pemanfaatan program media audio interaktif untuk siswa SD
yang dikembangkan oleh Pustekkom sejak tahun 1991/1992. SRPM-SD lahir
dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar. Produk media audio lain
yang dihasilkan oleh Pustekkom antara lain Radio Pelangi, audio integrated, dan
audio SLTP Terbuka. Tentu saja, itu tadi, termasuk TV-E yang akan berfungsi
sebagai media pembelajaran bagi peserta didik, termasuk mereka yang tinggal di
daerah terpencil dalam rangka pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu
pendidikan (Eka, R. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia,
(http://edu-articles.com, diakses 9 Maret 2009)).
2.5 Upaya Peningkatan Pemerataan
Pendidikan Masyarakat Miskin dan Terpencil di Indonesia
Upaya-upaya peningkatan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan masyarakat terpencil yang disarankan oleh penulis adalah :
Upaya-upaya peningkatan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan masyarakat terpencil yang disarankan oleh penulis adalah :
a. Pendidikan tidak harus dibangun dengan biaya yang mahal,
tetapi sekolah bisa membuat badan amal usaha yang menjadi ruh/biaya operasional
pendidikan lebih-lebih tanpa melibatkan pembiayaan kepada siswa. Kalaupun siswa
dikenai biaya itupun harus disesuaikan dengan tingkat pendapatan orang tua.
b. Bagaimana pemerintah dapat membuat regulasi tentang
standar Biaya Operasional Pendidikan. Kebijakan BOS telah ditelurkan oleh
pemerintah, namun pada kenyatannya di lapangan masih banyak sekolah-sekolah
yang mencari lahan untuk menarik pungutan kepada siswa (orang tua) dengan
embel-embel program tertentu.
c. Pemerintah hendaknya mempunyai komitmen untuk
mendistribusikan bantuan pendidikan (Imbal Swadaya, Block Grant, dll) kepada
sekolah sesuai dengan kuintasi yang dicairkan dan jangan sampai bantuan yang
diberikan oleh pemerintah terhenti di tingkat birokrasi.
d. Pemerintah memberikan reward yang menarik agar memotivasi
para guru yang profesional untuk dapat mengaar di daerah-daerah terpencil.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemerataan pendidikan yang ada saat ini masih kurang terealisasikan dengan baik. Permasalahannya yaitu karena pendidikan itu sendiri masih berorientsi di wilayah perkotaan dan subsidi dari pemerintah itu pun masih belum mencukupi untuk masyarakat yang tidak mampu yang jumlahnya cukup besar. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia yaitu dengan adanya program wajib belajar 9 tahun dan pengadaan teknologi informasi seperti televisi dan radio.
Pemerataan pendidikan yang ada saat ini masih kurang terealisasikan dengan baik. Permasalahannya yaitu karena pendidikan itu sendiri masih berorientsi di wilayah perkotaan dan subsidi dari pemerintah itu pun masih belum mencukupi untuk masyarakat yang tidak mampu yang jumlahnya cukup besar. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia yaitu dengan adanya program wajib belajar 9 tahun dan pengadaan teknologi informasi seperti televisi dan radio.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
© 2008 Sri Lestari 'Afifah
Design by Templates4all
Converted to Blogger Template by BloggerTricks.com
0 komentar:
Posting Komentar